SEJARAH KOHATI


A.    PRA KELAHIRAN KOHATI
1.      MASA PRA KOHATI : DEPARTEMEN KEPUTRIAN
Sebelum Kohati lahir, kegiatan HMIwati dalam masalah kewanitaan dikelola oleh sebuah Departemen, sebagaimana halnya bidang-bidang/kegiatan lain dalam HMI. Ada Departemen Kader, Departemen Kemahasiswaan, Departemen Hubungan Luar Negeri, dan lain lain. Jadi, Departemen Keputrian adalah bagian dari kepengurusan HMI, mulai dari tingkat Komisariat sampai Pengurus Besar.
Pada masa kepemimpinan dr. Sulastomo sebagai hasil dari Kongres VII di Jakarta, Pengurus Besar HMI didukung oleh 33 orang personil, 6 orang adalah HMI wati. Dua di antaranya, Eka Masni dan Lily Muslichah duduk di Departemen Keputrian. Di samping mereka berdua masih ada beberapa orang HMIwati duduk dalam Pengurus Besar HMI, yaitu Zulaecha Yasin sebagai Ketua Departeman Hubungan Luar Negeri, serta Anniswati Rochlan, Siti Delfina dan Rasmidar Aminy sebagai Staf Bendahara. Sesudah Mukernas HMI tanggal 3 Januari 1966, Pengurus Besar mengalami reshuffle dan disederhanakan menjadi 24 orang dan semenjak saat itu, Departemen Keputrian dipimpin oleh Anniswati Rochlan, yang berlanjut sampai Kongres ke VIII di Solo.
Dengan jelas terlihat bahwa HMIwati turut berkiprah hampir dalam setiap bidang kegiatan HMI. Begitu pula, tatkala HMI ikut aktif memprakarsai kelahiran KAMI pada 25 Oktober 1965, maka selain beberapa orang HMIwan yang mewakili HMI, turut pula berpartisipasi HMIwati. Ketika timbul gagasan untuk memperluas kesatuan aksi di semua bidang yang antara lain melahirkan KASI, KAPPI, KAPI, dll, maka HMIwati turut mendorong lahirnya KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) di mana Aisyah Aminy seorang alumni HMIwati terpilih menjadi Ketua/Koordinatornya.
2.      DINAMIKA HMIWATI PADA CABANG JAKARTA
Situasi politik menjelang peristiwa G-30-S merupakan masa yang cukup menegangkan bagi HMI. Tekanan yang bertubi-tubi dari PKI dan seluruh ormasnya lebih terasa lagi di lingkungan Perguruan Tinggi, yang mengakibatkan makin solidnya militansi anggota HMI. Mereka yang saat itu memutuskan untuk tetap aktif dalam kegiatan HMI sesungguhnya adalah benar-benar kader yang tangguh dan teruji.
Kata ‘Ganyang HMI” menggema dimana-mana. Kata ganyang adalah bahasa Jawa yang berarti mengunyah-ngunyah, lalu menelan1. Peristiwa pengganyangan terhadap HMI yang berlangsung pada tahun 1964-1965 adalah suatu kegiatan sistimatis dan berencana yang digerakkan oleh PKI beserta ormas-ormasnya. Mereka melancarkan serangan yang terus menerus dan bertubi-tubi terhadap HMI lewat media massa dll dengan tujuan agar Presiden Sukarno dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi membubarkan HMI.
Suasana berubah total setelah gagalnya G30S/PKI serta kemenangan Orde Baru di mana komponen-komponen masyarakat menyambut baik perkembangan tersebut yang menandakan bangsa Indonesia memasuki era baru yang penuh pengharapan, era Orde Baru.
Kepercayaan kepada HMI mengakibatnya meledaknya jumlah mahasiswa yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota HMI. Sebagaimana analisa yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog, kejadian ini seiring dengan masa masuknya anak-anak orang Islam ke Perguruan Tinggi setelah berhasil mengecap bangku sekolah pada tahun 50-an. Mereka-mereka ini lah yang pada tahun 61/62/63, dst mulai berstatus sebagai mahasiwa dan sebagian besar masuk menjadi anggota HMI.
Dr. Sulastomo mamaparkan bahwa pada tahun di mana HMI diganyang oleh PKI tersebut, anggota baru di FKUI yang biasanya tidak sampai sepuluh orang, melonjak menjadi 80 orang. Kalau pada tahun 1957 jumlah anggota baru Cabang Jakarta hanya 120 orang, maka pada tahun 1965 jumlah anggota baru di Cabang Jakarta meledak sampai 2000 orang.
Meledaknya jumlah anggota terasa pula sampai ke cabang-cabang kecil di seluruh tanah air. Hal ini telah menarik perhatian beberapa tokoh HMIwati. Mereka menyimpulkan bahwa sebuah departemen, yang hanya dipimpin oleh dua tiga orang HMIwati tidak akan mampu mengkoordinir kegiatan-kegiatan untuk menampung besarnya jumlah HMIwati yang berada di lingkungan HMI. Itu masalah pertama. Masalah kedua, yang sekaligus merupakan tantangan, apakah jumlah mahasiswi yang begitu besar tidak dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih berarti dalam rangka mencapai tujuan HMI?
Semenjak dibentuknya Komando Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP Gestapu) pada 4 Oktober 1965 yang diketuai oleh Subchan ZE (abang dari Anniswati Rochlan) dan Aisyah Aminy sebagai Koordinasi Wanita KAP Gestapu3, HMIwati memegang peran yang penting dalam kegiatan-kegiatannya. Demikian pula pada saat KAMI didirikan pada 25 Oktober 1965, dan diupayakan untuk “dibubarkan” pada tanggal 24 Februari 1966, namun gerakan mahasiswa ini terus bergelora dengan terbentuknya KAMI pada tingkat propinsi, kabupaten maupun universitas di seluruh penjuru tanah air.
HMIwan-HMIwati turut berpartisipasi dalam kegiatan KAMI sejak aksi massa pertama di halaman Universitas Indonesia 3 Nopember 1965. Demikian pula dalam apel besar yang dilaksanakan oleh KAP Gestapu pada tanggal 8 November 1965 di Lapangan Banteng yang
antara lain dihadiri oleh 2000 massa wanita. Semuanya itu mengawali partisipasi aktif HMIwati dalam berbagai kegiatan di luar organisasi HMI. Setelah itu, dalam rentang waktu yang cukup panjang, mahasiswa dan mahasiswi turun ke jalan berpartisipasi dalam sebuah perjalanan panjang memperjuangkan Tritura, sejak dicetuskan pada 10 Januari 1966.
Perkembangan situasi yang pesat ini menjadi bahan perbincangan dari aktivis-aktivis HMIwati, yang beberapa tahun sebelum tahun 1965 telah mengikuti berbagai kegiatan HMI. Dapat disebutkan beberapa nama mereka, antara lain Yulia Mulyati, Hartini Hakim, Tini Daryo, Etty Suhada, Asmara Tjandrarini, Ida Wahab, Fadhlah Barie dan Nurwatis Munaf. HMIwati-HMIwati Cabang Jakarta inilah yang untuk pertama kali membidani dibentuknya suatu wadah khusus bagi HMIwati,
Mas Dahlan Ranuwiharja memberikan nama Cohati, abreviasi untuk Corps HMIwati, kepada HMIwati yang berkelompok pada tiap apel mahasiswa tersebut. Nama yang tercetus secara bergurau, ketika para HMIwati melaksanakan apel di Lapangan Banteng itu dilatar belakangi oleh COWAD dan COWAL. Kedua korps ini adalah nama-nama baru yang sedang jadi buah bibir di masyarakat. COWAD berdiri pada 22 Desember 1961, COWAL pada tanggal 5 Januari 1963. ( Selain itu Polwan pada 1948 dan Wara pada 12 Agustus 1963).
Idea pembentukan Cohati ini dibicarakan pada Musyawarah Kerja Keputrian Cabang Jakarta bulan Desember 1965. Diputuskan bahwa pembentukan badan yang diberi nama Cohati tersebut, statusnya adalah semi-otonom, dan tiga orang diangkat menjadi formatur: Hartini Hakim, Yulia Mulyati dan Fadhlah Barie. Pengurus yang pertama diketuai oleh Hartini Hakim dengan Asmara Tjandrarini sebagai Sekretaris Umum.
3.      DINAMIKA HMIWATI CABANG MAKASSAR
Pada waktu yang lebih kurang bersamaan, yaitu sekitar awal tahun 1966 di Cabang Makassar, HMIwati yang semula tergabung di dalam Seksi Keputrian Cabang, mendirikan sebuah korps yang mereka beri nama Corps Keputrian disingkat CK. Pembentukan ini adalah atas gagasan peserta “TC Keputrian Berdikari” yang dilaksanakan oleh Seksi Keputrian HMI Cabang Makassar, diikuti oleh 80 orang peserta. Pemilihan yang dilaksanakan memutuskan Andi Dattja Patoppoi menjadi Ketua Korps Keputrian.
Kegiatan Korps Keputrian yang paling penting adalah dilaksanakannya Training Center Nasional Keputrian HMI. Training di Pulau Kayangan, Makassar yang berlangsung bulan Mei 1966 ini dihadiri oleh peserta dari Jakarta, Solo, Bali, Ciputat, Yogyakarta dan Makassar. Dari PB HMI hadir Nurkholish Madjid dan Anniswati Rochlan, Ketua Departemen Keputrian PBHMI.
4.      KEBIJAKSANAAN DEPARTEMEN KEPUTRIAN PBHMI
Departemen Keputrian PB HMI dari dekat mengamati dinamika perkembangan organisasi ini. Selain sebagai PB HMI, Anniswati Rochlan juga turut terlibat secara aktif sebagai senior di Cabang Jakarta yang senantiasa berkomunikasi dan berdialog dengan junior-juniornya di Cabang Jakarta. Anniswati yang turut hadir pada Training Nasional Keputrian di Makassar juga menangkap aspirasi yang muncul di kalangan HMIwati di sana. PB HMI akhirnya sepakat bahwa hal yang sama sebaiknya juga diterapkan pada cabang-cabang HMI.
Sementara itu, secara informal ‘demam Cohati’ dibawa pulang oleh peserta Mukernas HMI 3 Januari 1966. Para peserta Mukernas, lebih-lebih HMI-watinya, terkesan sekali melihat “KOHATI JAYA” yang selain dari kuantitanya, juga kualitanya teruji. Pendukung Cohati yang sudah terbiasa dalam apel-apel mendukung kegiatan KAMI, KAWI, Lasykar ARH dll, tampak juga tampil mendukung kegiatan Mukernas.
Pada tanggal 11 Juni 1966 Pengurus Besar HMI mengeluarkan Surat Keputusan (2319/A/Sek/1966) ditandatangani oleh Ketua Umum dr Sulastomo dan Wakil Sekjen Nabhani Misbach, yang menginstruksikan agar Kohati juga dibentuk di setiap cabang, komisariat dan rayon, dengan status semi-otonom.
Instruksi disusul pada tanggal 6 Juli 1966 dengan sebuah Pedoman Pelaksanaan yang ditandatangi oleh Munajat Aminarto (Ketua), Yusuf Syakir (Sekjen) dan Anniswati Rochlan (Ketua Departemen Keputrian). Sebelum SK PB HMI diterima, beberapa cabang sudah mulai “meniru” mendirikan Kohati, antara lain Cabang Bogor (19 Februari 1966), dll. Sementara yang lain baru melaksanakan pembentukan Kohati setelah SK No. 2319/Sek/1966 tiba. Sebagian lagi, baru secara khusus mendirikan, pada saat persiapan-persiapan untuk menyusun delegasi ke Kongres VIII. Mereka membentuk Kohati, karena dalam Kongres akan ada Musyawarah Nasional Kohati.
Dari penjelasan ini terlihat bahwa lahirnya Kohati bukanlah semata-mata gagasan HMIwati sendiri, tetapi juga didukung dan didorong secara aktif oleh HMIwan. Pimpinan HMI secara bersama-sama melihat bahwa dibentuknya Kohati di lingkungan HMI adalah untuk kemaslahatan HMI secara keseluruhan. Dalam pelaksanaannya, baik di tingkat Cabang, di Badko-Badko ataupun di Pengurus Besar, pimpinan HMIwati dibimbing dan didukung langsung oleh para HMIwannya.
Cabang Jakarta tidak bisa melupakan peran Mas Dahlan, Fahmi Idris, Firdaus Wajdi dll dalam proses lahirnya Kohati di Jakarta. Begitu pula di tingkat PB, mbak Annis dibimbing dan dibantu oleh mas Tom sendiri, di samping Yusuf Syakir, Nabhani, Mar’ie, Ekki, Beddu, Nazar, Machnan, dll.
Di cabang dan badko dimana HMIwannya memahami konsep dasar keberadaan Kohati dalam HMI, terlihat adanya partisipasi positif dalam mendukung, membantu serta membina kelahiran dan perkembangan Kohati. Situasi ini mengakibatkan keberadaan Kohati berhasil memberikan kontribusi positif kepada HMI. Sebaliknya di beberapa daerah lain, oleh karena kekurang-mengertian personil Pengurus Cabang atau Komisariat, hambatan muncul dari HMIwan yang menilai bahwa berdirinya Kohati lebih besar mudharat dari manfaatnya. Kekurang-mengertian ini kemudian menimbulkan energi negatif yang pada akhirnya menjadi isu pro-kontra Kohati yang tentu saja berpengaruh kepada semangat HMIwati setempat.
ORGANISASI PEREMPUAN
Sampai terbentuknya Kohati, di tingkat nasional baru ada sebuah organisasi yang merupakan koalisi organisasi perempuan Indonesia, yaitu Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Di daerah-daerah KOWANI tampil dalam bentuk Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW). Ketentuan di dalam organisasi tersebut belum terlalu ketat, sehingga walaupun dalam bentuk Departemen Keputrian, HMIwati di beberapa cabang diajak berpartisipasi.
Kongres Wanita Indonesia (Kowani)
Pada masa 1961-1965 pergerakan wanita lebih banyak diarahkan menjadi “alat revolusi”. Pada awal 1962 Kowani menjadi anggota Front Nasional, dan selalu diandalkan untuk mengerahkan massa termasuk dalam pembentukan barisan sukarelawati (“sukwati”), khususnya dalam rangka melaksanakan “Dwikora” untuk mengganyang Malaysia. Selanjutnya Kowani terseret jauh ke arah kegiatan-kegiatan politik praktis seperti mengikut sertakan anggotanya dalam Kader Revolusi Angkatan Dwikora, pendidikan KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara) dan bahkan pendidikan Nasakom.
KAWI
Setelah peristiwa G-30-S/PKI, aspirasi wanita yang selama ini terpendam, mencari salurannya di luar Kowani antara lain aktif dalam Koodinasi Wanita KAP Gestapu. Kegiatan itu berlanjut dengan dibentuknya Kesatuan Aksi Wanita Indonesia pada 9 Maret 1966.
Koordinasi Wanita Sekber Golkar
Selanjutnya KAWI, Kowani dan Koordinasi Wanita Sekber Golkar melaksanakan kerja sama dalam bentuk Badan Musyawarah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional secara bersama-sama.
KNKWI
Untuk memenuhi anjuran Sekjen PBB, Kowani, KAWI dan Koordinasi Wanita Sekber Golkar pada tahun 1968 mendirikan KNKWI (Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia).
BMOWI
Pada 2 Juli 1967, organisasi-organisasi wanita Islam mendirikan “Badan Musyawarah Organisasi Perempuan Islam Indonesia”, yang pada tanggal 11 Mei 1969 dirubah menjadi Badan Musyawarah Organisasi Wanita Indonesia (BMOWI). Dalam organisasi ini bergabung 24 organisasi wanita muslim.
DHARMA PERTIWI dan DHARMA WANITA
Dharma Pertiwi didirikan pada 15 April 1964 yang merupakan gabungan dari Persit, Jalasenastri, PIA Ardhiya Garini dan Bayangkari. Sedangkan Dharma Wanita dibentuk pada 5 Agustus 1974 yaitu persatuan dari organisasi-organisasi istri pegawai negeri sipil yang ada di departemen dan non-departemen.

Sumber :
Kohati “Mengakar Ke Dalam Untuk Meraih Asa”
Kohati Pengurus Besar     
Perempuan Menulis

Dokumentasi Pelantikan Kohati Hmi Kom Unanda Cab. Palopo
Sumber Pengurus Hmi Kom Unanda Cabang Palopo


2 Responses to "SEJARAH KOHATI"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel